Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan matapelajaran rumpun humaniora pada lembaga pendidikan formal.Tuntutan itu didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, dekadensi moral, korupsi, dll. Para pakar pendidikan berpendapat salah satu sebab kegagalan pendidikan karakter bangsa adalah kesalahan dalam memilih metode pembelajarannya yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional, serta materi ajar yang terlalu bernuansa politis
praktis dan yuridis formal. Padahal untuk dapat menjadi warganegara yang baik , cerdas dan bermoral pemahaman yuridis dan politis saja jauh dari cukup; justru pemahaman dan internalisasi nilai-nilailah yang amat dibutuhkan oleh peserta didik.
Banyak pakar telah mengembangkan berbagai strategi, pendekatan dan metode pembelajaran ilmu-ilmu humaniora. Dari berbagai pendekatan dan metode pembelajaran tersebut masing- masing ada kekuatan dan kelemahannya, sangat tergantung dari tujuan pendidikan nilai dirumuskan dan kontekstual peserta didik. Oleh sebab itu para pendidik harus dapat memilih pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat, yang kontekstual agar pembelajaran menjadi
bermakna .
Esensi pendidikan ilmu humaniora bertujuan untuk membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang cerdas, baik dan bermoral, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang baik. Pendidikan nilai di Indonesia tentu saja tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang bersumber pada budaya Indonesia sebagaimana terangkum dalam Panasila dan UUD 1945. Para pakar pendidikan nilai sepakat bahwa dewasa ini yang amat perlu disempurnakan adalah pendekatan dan metode pembelajaran nilai oleh para guru, agar nilai-nilai tidak saja dipahami tetapi juga diamalkan dalam kehidupan konkret sehari-hari. Para pakar pendidikan juga sepakat bahwa ilmu pengetahuan dibangun oleh peserta didik ( filsafat konstruksivisme) sedangkan guru hanya sebagai fasilitator, maka proses pembelajaran haruslah kontekstual ( CTL: contextual teaching learning , SAL: student active learning ), di samping itu pembelajaran juga menggunakan cara berpikir anak yang induktif .
1. Karakter Perkembangan Moral Peserta Didik
1.1.Pandangan Kohlberg (Duska & Whelan, 1979; Sprinthall,1977; Lickona,1975)
Berdasarkan pengamatan pada cara berpikir yang biasanya digunakan orang dalam
menghadapi dilema moral, Kohlberg menemukan adanya enam tahap perkembangan moral
orang dalam bertingkah laku, yang satu sama lainnya berbeda. Berikut ini enam tingkat
pertimbangan moral menurut Kohlberg,
1). Tingkat Prakonvensional
Pada tahap ini orang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan adat dan budaya setempat
tentang apa yang disebut baik atau buruk, benar atau salah. Aturan itu mendapat wibawa dari
akibat fisik atau kenikmatan akibat perbuatannya, misalnya kalau berbuat salah dihukum,
sebaliknya kalau berbuat baik diberi hadiah. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kekuatan fisik
dari mereka yang menentukan aturan tersebut. Tahap pra konvensional ini dibagi menjadi dua
tingkat, yaitu:
a. Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Baik buruknya tindakan seseorang ditentukan oleh akibat fisiknya, tanpa menghiraukan arti
manusiawi dan nilai tindakan itu. Menghindari hukuman dan menyerahkan diri pada yang
berkuasa (tanpa mempersoalkan) mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Orang taat dengan
motivasi takut menderita akibat ketidaktaatannya, bukan karena sikap hormat terhada suatu tata
moral yang didukung oleh hukum dan wibawa.
b. Orientasi Instrumentalis Relatif
Tindakan yang benar adalah tindakan yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan sendiri, dan
kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antara manusia dilihat seperti hubungan orang
di pasar. Ada unsur kewajaran, ketimbal-balikan, sama rata, namun selalu diartikan secara fisik
demi kebutuhan sendiri. Sikap timbal baliknya bukan loyalitas, rsa terima kasih atau rasa
keadilan, tetapi ini soal ”mata ganti mata, gigi ganti gigi”.
2). Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini memenuhi harapan kelompok, keluarga atau bangsa dianggap bernilai pada
dirinya sendiri tanpa menghiraukan akibat-akibat alngsung.Sikap ini tidak hanya memuat
penyesuaian dengan harapan-harapan orang lain dan dengan tata aturan masyarakat, melainkan
memuat juga loyalitas kepadanya, kesediaan untuk mempertahankan, mendukung, dan
membenarkan tata aturan itu secara aktif pun pula sikap mengindentifikasikan diri dengan orang-
orang dan kelompok yang terlibat di dalamnya. Tahap ini dibagi dua tingkat, sebagai berikut:
a. Orientasi Masuk Kelompok ”anak manis” dan ”anak baik”
Perilaku baik adalah perilaku yang menyenangkan dan membantu orang lain serta mendapat
persetujuan dari mereka. Dalam tahap ini orang menyesuaikan diri dengan anggapan umum
tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan aa yang dianggap cocok atau tidak cocok.
’Maksud baik’ mulai dinilai sebagai hal yang penting. Pada tingkat ini ada kecenderungan
perbuatan atau perilaku seseorang dalam rangka mencari pujian dari pihak lain atau masyarakat.
b. Orientasi Hukum dan Ketertiban
Tindakan yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
dan pasti dengan berusaha memelihara ketertiban sosial. Perilaku yang benar adalah semata-
mata melakukan kewajiban dan menunjukkan rasa hormat kepada otoritas, serta memelihara
ketertiban sosial yang ada, demi ketertiban itu sendiri.
3). Tingkat Pascakonvensional, Otonom atau Berprinsip
Pada tahap ini terdapt usaha jelas untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip moral lepas dari
wibawa kelompok atau orang yang memegang prinsip-rpinsip itu dan lepas pula dari
indentifikasi individu itu dengan kelompoknya. Pada tahap ini dibagi menjadi dua tingkat, yaitu:
a. Orientasi Kontrak Sosial Legalistis
Pada tahap ini, orang menekankan pada unsur yang terkait dengan kemanfaatan dan
mementingkan kegunaan (utilitarium). Tindakan yang benar ditentukan dari hak dan norma
individual yang telah diperiksa dengan kritis, dan disetujui bersama oleh masyarakat. Ada
kesadaran yang jelas bahwa ’nilai’ dan ’pendapat’ pribadi bersifat relatif karenanya perlu adany
peraturan prosedural untuk mencapai kesepakatan bersama. Karena ’nilai’ dan ’pendapat’ pribadi
dapat bertentangan dengan keputusan bersama, maka hukum mendapat tempat yang dominan,
sekaligus ditekankan bahwa hukum dapat saja diubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di
luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak sosial merupakan unsur pengikat kewajiban.
b. Orientasi Prinsip Kewajiban
Pada tahap ini, yang dianggap benar adalah yang sesuai dengan suara hati, sesuai dengan
prinsip moral yang dipilihnya sendiri dengan berpedoman pada pemahaman kekomprehensipan 3
secara logis, universalitas, disertai kekonsistenan yang ajeg. Prinsip moral harus memenuhi tiga
syarat: memuat semua, berlaku umum, dan tidak saling bertentangan. Prinsip-prinsip itu abstrak,
bukan petunjuk perbuatan konkret. Inti moralitas berupa prinsip-prinsip universal tentang
keadilan, ketimbal-balikan, persamaan hak-hak asasi manusia yang mengacu pada usaha
penghormatan martabat manusia sebagai individu (Kohlberg,1977:130).
Struktur tingkat pertimbangan moral sebagaimana dipaparkan di atas, selanjutnya dapat
dipahami melalui interpretasi sebagai berikut:
Tahap pertama: motif moral sebuah tindakan terutama didasarkan pada usaha untuk
menghindarkan diri dari hukuman fisik. Keputusan moral dan ketaatan
didasarkan pada kekuatan fisik dan material yang sangat sederhana. Dalam
tahap pertama ini tidak dilarang jika orang tua atau guru menggunakan
”ancaman” untuk mendidik anak-anak, misalnya agar patuh, disiplin, tertip, dll.
Tahap kedua: morif moral sebuah tindakan terutama berupa usaha untuk memperoleh ganjaran
atau agar perbuatan baiknya memperoleh imbalan yang setimpal. Keputusan moral didasarkan
pada pemuasan kebutuhan sendiri, dengan memikirkan cara menarik keuntungan sebesar
mungkin. Orientasinya sangat materialistis dan instrumentalis. Dalam tahap ini orang tua atau
guru harus sadar bahwa pada tahap ini anak atau orang akan berbuat baik demi mencari pujian
bagi dirinya atau mendapat imbalan.
Tahap ketiga: motif moral sebuah tindakan berfungsi sebagai upaya agar tidak disalahkan atau
agar tidak dibenci oleh kelompoknya atau oleh kelompok mayoritasnya.
Keputusan moral dibuat semata-mata untuk menyenangkan orang lain.
Egosentrisme digantikan dengan kemampuan untuk ber-emapati, merasakan
apa yang barang kali dirasakan orang lain. Moralitas tahap ini tidak mengenal
relativitas dan kompleksitas, sebab semuanya masih dilhat dalam model-model
yang jeas dan perbedaan yang tegas. Tingkah laku selalu mengikuti konvensi
umum yang ada di dalam masyarakat. Dalam tahap ini orang tua atau guru
harus sadar bahwa anak atau orang akan berbuat baik jika orang lain juga
berbuat demikian pada dirinya, dan akan berbuat jahat jika orang lain juga
berbuat demikian terhadap dirinya.
Tahap keempat: motif moral sebuah tindakan berfungsi sebagai upaya membebaskan diri dari
teguran pejabat yang memegang kekuasaan, di samping itu juga untuk
melestarikan aturan-aturan umum serta membebaskan diri dari rasa bersalah
yang merupakan akibatnya. Setiap orang wajib mentaati hukum-hukum yang
ada dalam masyarakat tanpa mempertanyakannya, sebab hukum dilihat sebagai
kebijakan bersama yang menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk bertindak,
dan hukum itu akan menjamin kestabilan masyarakat. Dan pertimbangan moral
dibuat seseorang sesuai dengan aturan-aturan dalam masyarakat di mana dia
hidup. Dalam tahap ini orang tua atau guru harus menyadari perbuatan anak
atau orang semata-mata demi tidak melanggar aturan atau hukum, sering
tingkah laku ini disebut bersifat legalistis.
Tahap kelima: motif moral sebuah tindakan terletak pada keinginan untuk mempertahkan nilai-
nilai atau moralitas yang berlaku atau disetujui oleh masyarakat luas atau demi
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Pemikiran dan pertimbangan moral
merupakan hal yang kompleks karena menyangkut banyak segi. Banyak hal
yang harus dipertimbangkaan sekaligus bersama-sama aspek-aspek situasional, 4
motivasi dan prinsp-prinsip umum yang tercakup. Hukum memang dilihat
sebagai suatu cara untuk mengatur masyarakat, namun penalaran menuntut
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, mempertimbangkan segi emosional,
logisnya dan mengandaikan prinsip keadilan sebagai prinsip utamanya.
Tahap keenam: motif moral sebuah tindakan terletak pada konformitas terhadap prinsip moral
yang berfungsi untuk menghindarkan diri dari rasa bersalah yang timbul dari
dalam dirinya sendiri. Pertimbangan moral tidak lagi berdasarkan suatu sistem
hukum melainkan pada hukum yang tidak tertulis, pada prinsip moral yang
universal. (Martin dan Briggs,1986:152-155). Pada tahap ini otonomi seseorang
sebagai pribadi yang utuh dituntut dan sanggup untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya sesuai dengan hati nuraninya, lepas
dari pertimbangan eksternal yang mungkin tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Selanjutnya ilustrasi di bawah ini mungkin dapat memperjelas uraian di atas.
Tahap pertama: ”Saya harus merapikan tempat tidurku, jika tidak akan dimarahi mama”, atau
”Saya akan mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik, agar tidak dihukum bu
guru”. ( Dalam tindakan seperti itu terkandung pesan moral bahwa ”seseorang
harus mengerjakan tugas demi ketaatan pada yang berwenang, sebab jika tidak
akan dihukum. Seseorang takut dihukum menjadi alasan utama untuk taat pada
otoritas yang lebih berwenang).
Tahap kedua: ” Jika saya memukul temanku, maka saya juga akan balik dipukul ” atau ”Jika saya menolong orang lain yang sedang kesulitan, maka di saat saya susah juga
akan ditolong orang lain”. (Dalam seseorang melakukan suatu perbuatan
terkandung pikiran bahwa dirinya akan mendapat perlakuan yang sama jika
dalam keadaan yang sama).
Tahap ketiga: ”Jika saya berhenti pada waktu lampu lalu lintas menyala merah, maka saya akan
mendapat pujian dari bapak polisi yang berdiri di tepi jalan” atau ”Jika saya
mengerjakan pekerjaan rumah, maka saya akan mendapat pujian dari bu guru”.
(Dalam melakukan sebuah tindakan, terkandung pikiran bahwa tindakannya
harus seperti itu karena hal tersebut merupakan harapan orang lain atau
masyarakat dan dengan berbuat seperti itu akan mendapat pujian).
Tahap keempat: ” Menurut hukum, menyontek itu dilarang, maka saya tidak akan
melakukannya”, atau ”Menurut hukum, membayar pajak itu bukti warga negara
yang baik, maka saya melakukannya” (Dalam bertindak terkandung pikiran
bahwa perbuatan apapun harus sesuai dengan hukum yang berlaku sebab
hukum memang harus ditaati tanpa syarat).
Tahap kelima: ” Berbohong tidak boleh sebab melanggar norma moral, tetapi seorang dokter
boleh berbohong terhadap seorang pasien yang sudah dalam keadaan kritis
dengan mengatakan bahwa kondisinya cukup baik, dengan harapan pasien tetap
termotivasi untuk dapat sembuh dan dapat hidup terus”. (Bagi seorang dokter
mempertahankan nilai kehidupan jauh lebih penting dari pada nilai kejujuran
(tidak berbohong), sebab jika dokter jujur dengan mengatakan kondisi yang
senyatanya dapat saja pasien langsung meninggal).
Tahap keenam: ” Saya menolong orang lain yang sedang menderita bukan untuk mencari pujian,
bukan karena mencari imbalan, atau bukan karena aturan, tetapi karena prinsip
cinta kasih sesuai dengan gerakan suara hatiku” (Tingkah laku atau perbuatan 5
seseorang didasarkan atas prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang sifatnya
universal dan sesuai dengan hati nuraninya).
1.2. Perkembangan moral menurut perkembangan ranah afektif
Ranah afektif seseorang tercermin dalam sikap dan perasaan diri seseorang (Muhammad
Syah,2007:230-134) yang meliputi: (1) self-concept dan self esteem; (2) self-efficacy dan contextual
efficacy; (3) attitude of self-acceptance dan others acceptance. Self-concept atau konsep diri adalah
totalitas sikap dan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri. Sementara self-esteem atau harga diri
adalah tingkat pandangan dan penilaian seseorang mengenai kualitas dirinya berdasarkan
prestasinya. Self-efficacy (efikasi diri) adalah keyakinan seseorang terhadap keefektifan kemampuan
sendiri dalam membangkitkan gairah dan kegiatan orang lain. Contextual efficacy adalah
kemampuan seseorang dalam berurusan dengan keterbatasan faktor luar dirinya pada suatu saat
tertentu. Sementara itu self-acceptance attitude atau sikap penerimaan terhadap diri sendiri adalah
gejala perasaan seseorang dalam kecenderungan positif atau negatif terhadap diri sendiri berdasarkan
penilaian jujur atas bakat dan kemampuannya. Others acceptance attitude adalah sikap mampu
menerima keberadaan orang lain, yang amat dipengaruhi oleh kemampuan untuk menerima diri
sendiri.
Perkembangan ranah afektif sama ragamnya dengan perkembangan ranah kognitif, maksudnya
tingkat perkembangan ranah afektif seseorang amatlah beragam. Secara umum perkembangan ranah
afektif menurut Dupont, meliputi enam tahap ( Darmiyati Zuchdi,2008: 22-24)
Tahap Karakteristik
1. Impersonal Pribadi yang tidak jelas (afek menyebar).Pada
tahap impersonal egosentrik, afeksi tidak
memiliki struktur yang jelas. Perasaan seseorang
belum terkontrol, masih berubah-ubah.
2. Heteronomi Pribadi yang jelas (afek unilateral). Perasaan
mulai dapat dikendalikan.
3. Antarpribadi Pribadi – teman sejawat (afek mutual).Tahap di
mana seseorang dapat memahami perasaan orang
yang terdekat atau teman akrap.
4. Psikologis-Personal Afek yang dapat dibedakan satu sama lain (afek
interaktif yang kompleks). Tahap di mana
seseorang sudah dapat merasakan perasaan orang
lain sebagai pertimbangan dalam mengambil
keputusan.
5. Otonomi Pusat afek di sekitar konsep abstrak tentang
otonomi diri dan orang lain (afek yang
didominasi oleh sifat otonomi).Tahap di mana
seseorang dapat mengambil keputusan secara
otonom dengan memperhatikan perasaan orang
lain dan atas dasar hati nurani
6. Integritas Pusat afek di sekitar konsep abstrak integritas
diri dan orang lain.Tahap di mana seseorang
dapat mengambil keputusan otonom dengan
memperhatikan perasaan orang lain serta nilai-
nilai universal 6
Agak berbeda dengan pandangan di atas adalah paparan Erickson (2008) tentang
perkembangan afektif, yang dibaginya menjadi delapan fase :
1.Trust
(kepercayaan dasar)
Pada usia 0-1 tahun anak membangun kepercayaan
pada hal-hal yang ada di sekitarnya berdasarkan
pengalaman inderawinya. Perasaan percaya ini akan
terbawa dalam perkembangan selanjutnya.
2.Autonomy
(otonomi)
Pada usia 1-3 tahun, dimensi otonomi anak timbul
karena kemampuan motoris dan mental mulai
berkembang, namun pada usia ini perasaan masih amat
labil, berubah-ubah tergantung lingkungannya.
3.Initiative (inisiatif) Pada usia 3-5 tahun anak sudah mulai menguasai
badan dan gerakannya, sosialitas mulai berkembang,
daya imaginatif dan inisiatif mulai tumbuh.
4.Productivity
(produktivitas)
Pada usia 6-11 tahun, anak mulai mengembangkan
sifat ingin menghasilkan sesuatu sesuai dengan
keinginannya.
5. Identity (identitas) Pada usia 12-18 tahun, ketika kematangan fisik dan
mental mulai sempurna, maka dimensi interpersonal
dan intrapersonal mulai muncul.
6.Intimacy
(keakrapan)
Pada usia 19-25 tahun, kemampuan berbagi rasa dan
memperhatikan orang lain mulai berkembang
7.Generativiy
(generasi berikut)
Pada usia 25-45 tahun, orang mulai memikirkan
orang-orang lain di luar keluarganya sendiri,
memikirkan generasi yang akan datang, serta
masyaraktnya.
8.Integrity
(integritas)
Pada usia 45 ke atas, orang memikirkan jati dirinya
yang penuh, menemukan integritas diri.
2. Pengertian Strategi, Metode Pembelajaran
Istilah strategi mula-mula dikenal dalam dunia militer yang berarti sebagai cara penggunaan
seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan. Dalam dunia pendidikan,
strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang didesain
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Ada dua hal yang perlu kita cermati dari pengertian di atas. Pertama, strategi pembelajaran
merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan
pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Itu berarti penyusunan suatu
strategi baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum sampai pada tindakan. Kedua,
strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan
strategi adalah pencapaian tujuan. Dengan demikian, penyusunan langkah-langkah pembelajaran,
pemanfaatan berbagai fasilitas dan sumber belajar semuanya diarahkan dalam upaya pencapaian
tujuan. Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi, perlu dirumuskan tujuan yang jelas yang
dapat diukur keberhasilannya, sebab tujuan adalah rohnya dalam implementasi suatu strategi.
Memang strategi pembelajaran merupakan kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan
guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara fektif dan efisien. Dalam strategi 7
pembelajaran terkandung meteri ajar dan prosedur pembelajaran yang digunaan secara bersama-
sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.
Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Itu berarti,
metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peran yang sangat penting.
Keberhasilan implementasi strategi pembelajaran sangat tergantung pada cara guru
menggunakan metode pembelajaran, karena suatu strategi pembelajaran hanya mungkin dapat
diimplementasikan melalui penggunaan metode pembelajaran. Secara singkat strategi menunjuk
pada sebuah perencanaan untuk mencapai tujuan, sedangkan metode adalah cara yang dapat
digunakan untuk melaksanakan strategi. Contoh metode pembelajaran adalah ceramah,
demontrasi, diskusi, simulasi, dll.
Pendekatan (approach) adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses
yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya strategi dan metode pembelajaran yang
digunakan dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Roy Killen (1998)
misalnya, mencatat ada dua pendekatan dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat
pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-
centred approaches). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran
langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan,
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery
dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.
Selain strategi, metode dan pendekatan pembelajaran, sering kita dengan teknik dan
taktik mengajar. Teknik dan taktik mengajar merupakan penjabaran dari metode pembelajaran.
Teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode.
Misalnya, cara yang bagaimana yang harus dilakukan agar metode ceramah yang dilakukan
berjalan efektif dan efisien? Dngan demikian, sebelum seseorang melakukan proses ceramah
sebaiknya memperhatikan kondisi dan situasi siswa. Misalnya, berceramah pada siang hari
dengan jumlah siswa yang banyak tentu saja akan berbeda jika ceramah itu dilakukan pada pagi
hari dengan jumlah siswa yang terbatas.
Taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu.
Dengan demikian, taktik sifatnya lebih individual. Misalnya, walaupun dua orang sama-sama
menggunakan metode ceramah dalam situasi dan kondisi yang sama, sudah pasti mereka akan
melakukannya secara berbeda, misalnya dalam taktik menggunakan ilustrasi atau menggunakan
gaya bahasa agar materi yang disampaikan mudah dipahami.
3. Jenis-jenis Strategi Pembelajaran
Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat digunakan. Rowntree (Wina Wijaya, 2008
:128-129) mengelompokan strategi pembelajaran menjadi tiga: (1) exposition-discovery learning
(strategi pembelajaran penemuan), (2) cooperative learning (strategi pembelajaran kelompok),
(3) groups-individual learning (strategi pembelajaran individual).
Strategi exposition, bahan pelajaran disajikan kepada siswa dalam bentuk jadi dan siswa
dituntut untuk menguasai bahan tersebut. Roy Killen (1998) menyebutnya dengan strategi
pembelajaran langsung (direct instruction). Karena dalam pembelajaran ini, materi pelajaran
disajikan begitu saja kepada siswa, siswa tidak dituntut untuk mengolahnya. Kewajiban siswa
adalah menguasainya secara penuh. Dengan demikian dalam strategi ekspositori guru berfungsi 8
sebagai penyampai informasi. Berbeda dengan strategi discovery , di mana bahan pelajaran dicari
dan ditemukan sendiri oleh siswa melalui berbagai aktivitas, sehingga tugas guru lebih banyak
sebagai fasilitator dn pembimbing bagi siswanya. Karena sifatnya yang demikian strategi ini
sering juga dinamakan strategi pembelajaran tidak langsung.
Strategi belajar individual dilakukan oleh siswa sencara mandiri. Kecepatan, kelambatan dan
keberhasilan pembelajaran siswa sangat ditentukan oleh kemampuan individu siswa yang
bersangkutan. Bahan pelajaran serta bagaimana mempelajarinya didesain untuk belajar sendiri.
Contoh dari strategi pembelajaran ini adalah belajar melalui modul, atau belajar bahasa melalui
kaset audio.
Berbeda dengan strategi pembelajaran individual, adalah belajar kelompok, yang dilakukan
secara beregu. Sekelompok siswa diajar oleh seorang atau beberapa guru. Bentuk belajar
kelompok itu bisa dalam pembelajaran kelompok besar atau pembelajaran klasikal; atau bisa
juga siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Strategi kelompok tidak memerhatikan
kecepatan belajar individual. Setiap individu dianggap sama. Oleh karena itu, belajar dalam
kelompok dapat terjadi siswa yang memilki kemampuan tinggi akan terhambat oleh siswa yang
mempunyai kemampuan biasa-biasa saja; sebaliknya siswa yang memiliki kemamouan kurang
akan merasa tergusur oleh siswa yang mempunyai kemampuan tinggi.
Ditinjau dari cara penyajiannya dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran juga dapat
dibedakan antara strategi pembelajaran deduktif dan strategi pembelajaran induktif. Strategi
pembelajaran deduktif adalah strategi pembelajaran yang dilakukan dengan mempelajari konsep-
konsep terlebih dahulu untuk kemudian dicari kesimpulan dan ilustrasi-ilustrasi; atau bahan
pelajaran yang dipelajari dimulai dari hal-hal yang abstrak, kemudian secara perlahan-lahan
menuju hal yang konkret. Strategi ini disebut juga strategi pembelajaran dari yang umum ke
yang khusus. Sebaliknya dengan strategi induktif, pada strategi ini bahan yang dipelajari dimulai
darim hal-hal yang konkret atu contoh-contoh yang kemudian secara perlahan siswa dihadapkan
pada materi yang kompleks dn sukar. Strategi ini kerap dinamakan strategi pembelajaran dari
khusus ke umum.
4. Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme
Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan
suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam menciptakan suasana atau
pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya
memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses
pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi atau metode-metode pembelajaran
yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar
memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara
mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat
menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi konstruktivis
berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali
struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh
sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.
Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan
belajar. Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-
langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Roestiyah (2001:1)
Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan 9
bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami
dan digunakan oleh siswa dengan baik.
Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran,
diantaranya; ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran,
karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan kemampuan
dan waktu maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang terpenting adalah
penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan
ditekankan kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan.
Penerapkan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran sejarah pada penelitian ini
akan lebih banyak menggunakan metode inquiry (menemukan) dan akan dibantu metode-metode
lain yang akan dilaksanakan secara integratif dan diperkirakan mampu dilaksanakan oleh guru
mitra peneliti dan siswa di lapangan. Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tanya Jawab (questioning)
Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan
konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada topik
pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai kegiatan
guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam
pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting
untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan
perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan
Nurhadi (2003: 14) berikut ini:
1. menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
2. mengecek pemahaman siswa
3. membangkitkan respon kepada siswa
4. mengetahui sejauh mana keinginan siswa
5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa
b. Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil
penyelidikan sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, guru
harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk
berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih bersifat student
centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat mengajarkan bagaimana siswa
dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan
pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk
menemukan sendiri pengetahuannya.
Penggunaan metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam arti
tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh siswa. Guru tidak lagi
berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan menyiapkan situasi yang menggiring siswa
untuk bertanya, mengamati, menemukan fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan
kemungkinan-kemungkinan jawaban dari suatu masalah.
Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara independen, dalam
suatu cara yang teratur. Melalui Inkuiri, siswa bertanya memperoleh dan mengolah data secara 10
logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka
gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu.
Belajar dengan melakukan inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk ”menemukan
sendiri”, dan karena itu Bruner menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar
dengan model inkuiri ini menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan,
akan tetapi siswa melibatkannya dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian
dengan memanipulasi data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan
pengamalannya sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami dan dibermaknakan
(Wiriaatmadja, 2002:137).
Metode inkuiri menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan sumber
belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan merumuskan
masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil inisiatif atau
prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa harus aktif
menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan kemampuan
berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan dalam inkuiri berkaitan
dengan sumber belajar adalah bukan pada dari mana sumbernya, tetapi lebih menekankan pada
bagaimana siswa dan guru memanfaatkan sumber tersebut dalam proses pembelajaran. Jadi
sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan
mengidentifikasi masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada penjelasan masalah.
Berikut adalah langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan,
Said Hamid (1996 :14) : langkah-langkah inkuiri adalah :1) Perumusan masalah, 2)
pengembangan hipotesis, 3) pengumpulan data, 4) pengolahan data, 5) pengujian hipotesis, dan
6) penarikan kesimpulan. Menurut Dahlan (1990:169) langkah-langkah inkuiri adalah 1)
orientasi, 2) hipotesis, 3) definisi, 4) eksplorasi, 5) pembuktian, 6) generalisasi. Sedangkan
menurut Joyce & Weil (2000:473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut
:1) penyajian masalah, 2) pengumpulan data dan verifikasi data, 3) mengadakan eksperimen dan
pengumpulan data, 4) merumuskan penjelasan, 5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri.
Menurut Nurhadi (2003:13): adalah 1) Merumuskan masalah, 2) Mengamati dan melakukan
observasi, 3) Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya
lainnya, 4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien yang lain.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat prinsipil menurut ahli tersebut tentang
langkah-langkah inkuiri. Pada intinya hampir sama, yaitu dimulai dari perumusan masalah dan
terakhir membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini peneliti memberi makna metode inkuiri
sebagai strategi pembelajaran yang berusaha memecahkan suatu permasalahan melalui langkah-
langkah yang sistematis dan logis.
c. Komunitas Belajar (Learning Community)
Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah
siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan tertentu
secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992:60). Pengembangan pembelajaran dalam kelompok
dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui
kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka.
Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan
motivasi belajar para anggota kelompok.
Dengan pendekatan konstruktivisme, guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-
kelompok belajar. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. 11
Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut
Slavin (1995:4-5) “kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur
kelompok yang bersifat heterogen”.
Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada
komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi informasi
yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang diperlukan
teman belajarnya. Kegiatan belajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam
berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang
menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik
komunitas belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas.
Untuk pelaksanaan metode-metode tersebut berpedoman kepada langkah-langkah yang
ditentukan dalam waktu perencanaan. Langkah-langkah pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai
berikut :
Langkah pertama, siswa didorong dan diberi motivasi agar mengemukakan pengetahuan
awalnya tentang konsep dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang akan dibahas. Guru
memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena-
fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa
di beri kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep
itu. Pada langkah ini penggunaan metode tanya jawab sangat diperlukan antara siswa dengan
guru, siswa dengan siswa yang difasilitasi oleh guru.
Langkah kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep-
konsep dan permasalahan-permasalahan melalui pengumpulan dan pengorganisasian dan
penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Pada tahap ini guru
menggunakan metode inquiry. Secara bekerja kelompok siswa membahas kemudian
mendiskusikan temuannya dengan kelompok-kelompok lain. Secara keseluruhan tahap ini akan
memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang topik pelajaran yang dibahas pada saat itu.
Langkah ketiga, Siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada
observasinya ditambah dengan penjelasan-penjelasan guru untuk menguatkan pengetehuan siswa
yang telah mereka bangun, maka siswa membangun pengetahuan dan pemahaman baru tentang
konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang
konsepsinya.
Langkah terakhir, guru berusaha menciptkan iklim pembelajaran yang memungkinkan
siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konsepnya tentang topik pelajaran saat itu.
Catatan khusus
5. Berbagai Pendekatan dan Metode Pembelajaran PKN/nilai/moral/agama
Para pakar pendidikan nilai seperti Superka, (1976) menunjuk lima (5) pendekatan dan metode
dalam pendidikan nilai, yaitu:
1) Pendekatan dan metode penanaman nilai [inculcation approach];
2) Pendekatan dan metode perkembangan moral kognitif [cognitive moral
development approach];
3) Pendekatan dan metode penalaran moral [moral reasoning approach];
4) Pendekatan dan metode klarifikasi nilai [values clarification approach];
5) Pendekatan dan metode pembelajaran berbuat [action learning approach]. 12
5.1. Pendekatan dan metode penanaman nilai
Pendekatan penanaman nilai adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada
penanaman nilai-nilai dalam diri siswa. Menurut Superka, tujuan pendidikan nilai adalah:
a) diterimanya nilai masyarakat tertentu oleh siswa;
b) berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang
diinginkan.
Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain:
keteladanan [ modeling], simulasi, permainan peran, dll.Pendekatan ini dianggap tradisional, dan
dipandang indoktrinatif, kurang demokratis karena dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih
nilainya sendiri secara bebas. Kendati demikian metode ini dipakai secara luas dalam berbagai
budaya bangsa, terutama pada pemimpin agama, karena nilai-nilai universal dan kebenaran
agama dianggap mutlak. Maka proses pendidikan pun harus bertitik tolak dari nilai-nilai tersebut.
5.2. Pendekatan dan metode perkembangan kognitif
Pendekatan ini disebut pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya
memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong
siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-
keputusan moral. Pendekatan ini mengandaikan bahwa perkembangan moral seseorang
berkembang dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).
Tujuan pendekatan dan metode ini ada dua:
a) membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan
kepada nilai yang lebih tinggi;
b) mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral (Superka,1976).
Proses pembelajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma moral, dengan
menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi dilaksanakan dengan memberi perhatian
kepada tiga kondisi penting, yaitu 1) mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang
lebih tinggi; 2) adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema faktual yang berhubungan
dengan nilai dalam kehidupan keseharian; 3) menciptakan suasana diskusi yang menyenangkan.
Proses diskusi dimulai dengan menyajikan cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi
siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat,
apa alasan-alasannya.
Pendekatan ini pertama kali dikembangan oleh Dewey, lalu dikembangkan oleh Kohlberg.
Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level), yaitu:
1) Tahap “premoral” atau preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang
didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
2) Tahap “conventional”. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit
kritis, berdasarkan kriteria kelompoknya;
3) Tahap “autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai
dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima
kriteria kelompoknya.
Kohlberg mengembangkan teori Dewey lebih rinci lagi melalui berbagai percobaan yang
berulang-ulang dan akhirnya dia menyimpulkan perkembangan moral seseorang sebagai berikut:
1) Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan [ punishment and obedience orientation].Pada
tahap ini (sekitar usia 1-6 tahun) seseorang / anak melakukakan tindakkan tertentu atas 13
pertimbangan untuk menghindari hukuman fisik dari pihak lain dan bersedia taat pada
penguasa karena rasa takut.
2) Tahap kedua, orientasi relatif instrumental [ instrumental relativist orientation] (sekitar
usia 6-9 tahun). Pada tahap ini seseorang / anak melakukan perbuatan tertentu atas
pertimbangan, apakah tindakannya dapat memuaskan dirinya dan bila mungkin juga
memuaskan orang lain.Hubungan antar sesama atas dasar “jula-beli”, jika “saya
membuat kamu senang, kamu juga harus membuatku gembera”.
3) Tahap ketiga, (sekitar usia 9-12 tahun) orientasi masuk kelompok anak baik – anak
manis [interpersonal concordance or “good boy – nice girl”]. Pada tahap ini seseroang /
anak melakukan perbuatan tertentu berdasarkan pertimbangan baik-buruk menurut
masyarakat.Dengan pendek kata, perbuatan dilakukan seseorang untuk mencari pujian
dari pihak lain.
4) Tahap keempat (sekitar usia 12-15 tahun) orientasi pada hukum dan ketertiban [ law and
order orientation]. Pada tahap ini seseorang melakukan suatu tindakan atas dasar hukum
atau ketertiban masyarakat. Pendek kata, tingkah laku / perbuatan didasrkan pada hukum
yang berlaku, dalam hal ini ada bahaya seseorang bertingkah laku legalistik.
5) Tahap kelima (sekitar usia 15-18 tahun) orientasi kontrak sosial [social contract
legalistic orientation]. Pada tahap ini seseorang berbuat sesuatu dinilai benar atau salah
didasarkan pada nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Hukum dapat saja berubah
sesuai dengan tuntutan masyarakat, tetapi nilai-nilai yang diyakini masyarakat lebih
penting.
6) Tahap keenam (sekitar usia 18 tahun keartas), disebut orientasi asas etik universal [the
universal ethical principle orientatio]. Pada tahap ini perbuatan seseorang dinilai benar
atau salah diukur dari cocok tidaknya dengan hati nurinya yang didasarkan atas nilai-
nilai dasar yang sifatnya universal.
Dalam penjelasannya Kohlberg mengatakan bahwa:
1) perkembangan moral itu harus bertahap, dari tahap yang lebih rendah ke tahap
yang lebih tinggi;jadi tidak dapat meloncat dari tahap pertama terus ke tahap
ketiga, dll.
2) secara kognitif seseorang akan tertarik pada tahap yang lebih tinggi secara
bertahap / tidak dapat melompat-lompat; maka moral dapat dikembangkan;
3) perkembangan moral hanya dapat terjadi bila kemantapan moral mulai digoyang;
4) perkembangan moral seseorang tidak dengan sendirinya dapat berkembang, maka
perlu pendidikan dan pendampingan.
5.3.Pendekatan dan metode argumentasi moral
Pendekatan argumentasi moral memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan
siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-
nilai dalam masyarakat dan mencari alasan pembenaran secara moral.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah:
a) membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam
menganalisis masalah-masalah moral;
b) membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam
menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai.
Ada enam langkah analisis nilai yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai, menurut
pendekatan ini. 14
Langkah analisis nilai : Tugas penyelesaian masalah :
1. mengindentifikasi dan menjelaskan
nilai yang terkait
1. Mengurangi perbedaan penafsiran
tentang nilai yang terkait
2. Mengumpulkan fakta yang
berhubungan
2. Mengurangi perbedaan dalam fakta
yang berhubungan
3. Menguji kebenaran fakta yang
berkaitan
3. Mengurangi perbedaan kebenaran
tentang fakta yang berkaitan.
4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang
bersangkutan
4. Mengurangi perbedaan tentang kaitan
antara fakta yang bersangkutan
5. Merumuskan keputusan moral
sementara
5. Mengurangi perbedaan dalam rumusan
keputusan sementara
6. Menguji prinsip moral yang digunakan
dalam pengambilan keputusan
6. Mengurangi perbedaan dalam
pengujian prinsip moral yang
diterima.
Kekuatan pendekatan dan metode ini adalah mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena
penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Di samping itu pendekatan ini
menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral..
Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan, terlalu menekankan aspek kognitif dan kurang
memperhatikan aspek afektif serta perilaku.
5.4. Pendekatan dan metode klarifikasi nilai
Teknik klarifikasi nilai [ values clarification technique = VCT ] memberi penekanan pada
usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan
kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.
Tujuan pendekatan ini adalah:
a) membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri
serta nilai-nilai orang lain.;
b) membantu siswa agar mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan
orang lain, berkatian dengan nilai-nilai yang diyakininya;
c) membantu siswa agar mampu menggunakan akal budi dan kesadaran
emosionalnya untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan pola tingkah lakunya
sendiri.
Ada tiga proses klarifikasi nilai dalam pendekatan ini, sbb:
Pertama, memilih :
1) dengan bebas
2) dari berbagai alternatif
3) setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibat
Kedua, menghargai:
4) merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya
5) mau mengakui pilihannya itu di depan umum
Ketiga, bertindak:
6) berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya
7) diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup
Kekuatan pendekatan ini adalah memberikan penghargaan pada siswa sebagai individu yang
mempunyai hak untuk memilih, menghargai dan bertindak berdasarkan nilainya sendiri. Metode 15
pengajarannya juga sangat fleksibel, pedoman di atas boleh diikuti dengan ketat tetapi dapat juga
agak longgar. Kelemahan pendekatan ini adalah kriteria benar-salah amat relatif, karena
mementingkan nilai perorangan.
5.5. Pendekatan dan metode pembelajaran berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat [ action learning approach] memberi penekanan pada
usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik
secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam kelompok.
Tujuan pendidikan moral dengan pendekatan ini adalah:
a) memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral berdasarkan nilai-nilai
mereka sendiri;
b) mendorong siswa untuk melihat diri mereka sendiri sebagai mahkluk individu dan mahkluk
sosial.
Metode pembelajaran dengan pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai dapat digabung
dengan pendekatan ini. Pendekatan ini memungkinkan siswa sebagai warganegara dapat berbuat
secara aktif dan kontekstual berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya. Misalnya: dalam proses
pemilu seseorang ikut secara aktif dalam kampanye partai politik atau calon tertentu.
Kelemahan pokok pendekatan ini sulit dipraktekan dalam sekolah atau kelas, karena tempat
praktek adalah masyarakat
6. Unsur pokok materi pembelajaran PKN
Pembelajaran PKn harus memperhatikan perkembangan kesadaran moral peserta didik.
Harmin, et al. (1996) menjelasakan para siswa dari tingkatan TK sampai SMA terikat proses
berpikir dari yang konkret ke yang abstrak, tentu kadar keabstrakan anak TK tidak sama dengan
anak SMA. Tahap perkembangan berpikir anak ini harus diperhatikan oleh guru, agar proses
pembelajarannya efektif dan efisien. Maka dalam setiap materi pembelajaran PKn harus ada
kejelasan: fakta/peristiwa; konsep; norma dan nilai.
6.1. Fakta/peristiwa
Max Scheler mengatakan bahwa nilai merupakan suatu kenyataan yang abstrak dan
tersembunyi ”di balik” kenyataan/fakta/peristiwa lain yang konkret. Dengan kata lain kenyataan
konkret itu ’pembawa nilai’, seperti halnya suatu benda dapat menjadi pembawa warna merah,
hijau, dll. Nilai-nilai moral ada di balik tindakan-tindakan yang menyimpan atau mewujudkan
nilai-nilai moral tersebut. Misalnya ”nilai kemanusiaan” itu bersifat abstrak, tidak ada orang
yang dapat melihat, meraba, mendengarkan ”nilai kemanusiaan”, hanya dapat dipikirkan. Agar
nilai tersebut nampak dapat dilihat, maka ada perbuatan yang membawa nilai kemanusiaan itu,
misalnya : (1) Orang mendonorkan darahnya untuk temannya yang sedang menjalani operasi; (2)
Pak polisi menolong orang yang mendapat kecelakaan lalu lintas. Kedua peristiwa tersebut dapat
kita lihat, karena konkret. Namun nilai kemanusiaan yang ada di balik peristiwa tersebut tidak
nampak. Maka agar pembelajaran nilai, moral mudah ditgangkap siswa, perlunya guru
menyajikan peristiwa, fakta ’pembawa nilai’.
6.2 Tataran konsep
Jika fakta, peristiwa pembawa nilai sudah tersedia, langkah kedua adalah memberi
penjelasan konsep-konsep pokok atau istilah-istilah yang terkait dengan ’nilai’ yang ingin
disampaikan. Kejelasan konsep atau istilah amat penting agar siswa mempunyai persepsi tentang 16
kata/istilah/konsep tertentu secara seragam, hal ini untuk menghindari salah faham. Misalnya
konsep ”adil”, ”norma hukum”, ”norma adat”, dll, istilah/kata/konsep tersebut harus dijelaskan
oleh guru secara tepat sehingga maksudnya jelas. Dalam kehidupan sehari-hari di kelas seperti
dalam diskusi, debat sering terjadi pertengkaran, hanya karena berbeda tentang makna
konsep/atau kata tertentu. Salah persepsi tentang kata/istilah/konsep harus dihindari, terutama
dalam pembelajaran PKn.
6.3. Norma dan nilai dan tingkah laku.
Setiap tingkah laku atau perbuatan manusia selalu terkait dengan norma tertentu, konsep
dan nilai yang dianutnya ( William Chang,2000:52-59; Harmin et al., 1976). Tidak ada perbuatan
atau tingkah laku manusia lepas dari pertimbangan norma dan nilai tertentu. Kendati tingkat
kesadaran dan pemahaman seseorang tentang norma dan nilai tidaklah sama, dan kadang kala
saling bertentangan, namun setiap tindakan tidak lepas dari norma dan nilai tertentu. Di samping
itu pemahaman tentang norma, konsep dan nilai yang dianut seseorang amat dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti faktor agama/keyakinan, tingkat pendidikan, kebudayaan, pergaulan dan
lingkungan hidupnya; Superka et al.(1976) menjelaskan bahwa pengetahuan dan pemahamanan
akan konsep, norma dan nilai adalah penting dalam pendidikan nilai, untuk membentuk sikap
moral yang lebih stabil dalam diri seseorang.
Rumusan norma tertentu ( moral, hukum dan sopan santun / sosial) pada dasarnya
merupakan pencerminan keyakinan seseorang/sekelompok orang/pemerintah akan nilai-nilai
tertentu yang diyakinnya baik dan benar. Maka keputusan seseorang untuk bertindak ataupun
melakukan sesuatu amatlah ditentukan oleh pemahaman akan nilai kehidupan yang diyakininya.
Oleh sebab itu nilai menjadi acuan ataupun tolok ukur seseorang dalam bertingkah laku.
6.4.Norma dan macamnya.
Norma secara dasariah berarti pedoman atau pegangan, aturan, patokan bertingkah laku
(William Chang, 2000:83). Norma adalah formulasi warga masyarakat akan nilai-nilai yang
dianutnya. Norma yang menjadi acuan dalam bertingkat laku secara umum dikelompokan
menjadi norma moral / agama, norma hukum dan norma sopan santun/sosial. Norma moral
(mores : kebiasaan-kebiasaan yang baik) amat dipengaruhi oleh kesadaran seseorang akan nilai-
nilai yang sebagian besar dibentuk oleh agama/kepercayaannya. Pada umumnya nilai-nilai itu
bersifat universal maka norma moral pun banyak yang bersifat universal, namun ada cukup
banyak nilai yang sifatnya parsial, begitu juga sebagian dari norma moral pun juga bersifat
parsial. Norma hukum adalah segala ketentuan/ aturan yang dibuat / dirumuskan dan
diundangkan oleh pemerintah, yang bersifat jelas, pasti (berlaku atau pun sanksinya) dan berlaku
umum obyektif, maka mengikat semua subyek hukum yang termaksud di dalamnya Sementara
itu norma sopan santun/sosial pada umumnya merupakan patokan untuk bertingkah laku atas
dasar kesepakatan lisan / tradisi oleh sekelompok warga masyarakat / etnis/ golongan dalam
masyarakat, yang sifatnya tidak tidak selalu jelas, tidak pasti berlaku dan sanksunya serta tidak
berlaku umum. Dengan kata lain norma sosial amat kontekstual.
6.5.Norma dan hirarkhinya.
Norma yang ada di dalam masyarakat tidak sama pentingnya. Norma sopan santun/sosial
yang pada umumnya lisan dan dibentuk serta ditradisikan oleh sekelompok masyarakat, tidak
dapat berlaku universal tetapi berlaku lokal. Misalnya, makan dengan tangan kiri dalam budaya 17
Timur dianggap tidak sopan maka tidak boleh; sedangkan dalam budaya Barat hal itu tetap sopan
dan boleh saja dilakukan.
Sementara itu norma hukum berlaku obyektif atau berlaku umum. Misalnya, jika lampu
lalu lintas sedang menyala merah, maka semua kendaraan harus berhenti. Peraturan lalu lintas itu
dibuat oleh pemerintah, berlaku umum, jelas dan pasti maka harus ditaati oleh siapa saja. Norma
hukum sendiri jumlahnya tidak terbatas dan masing-masing mempunyai kedudukan yang
berbeda satu sama lain, dengan kata lain norma hukum itu bertingkat-tingkat atau hirarkhis
sifatnya. Maka kita mengenal ada UUD/Kontitusi sebagai tertip hukum yang tertingi, lalu
UU/perpu, baru kemudian berbagai peraturan pemerintah, perda-perda, dll., yang ada di
bawahnya, yang kedudukannya lebih rendah dari pada ketentuan hukum yang menjadi sumber
acuannya.
Norma moral, norma dasar yang pada umumnya bersumber pada nilai-nilai universal, dan
banyak terkandung dalam ajaran agama. Norma moral dipahami bersumber pada hukum kodrat,
yang menjadi pegangan umum dalam bertingkah laku, namun norma ini tidak terumus secara
jelas seperti norma hukum, oleh karena itu tidak dapat memberi kepastian makna dan kepastian
sangsi. Misalnya: ” Membunuh itu dosa”. Rumusan ini dapat menimbulkan multi tafsir; misalnya
apa itu dosa? Namun karena norma moral itu mengandung nilai-nilai universal, maka menjadi
acuan untuk norma hukum dan norma sosial.
5.6. Nilai dan hirakhirnya.
Nilai adalah hakekat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia dalam
hidupnya (Driyarkara,1966:38). Nilai pada dasarnya adalah positif. Nilai bukanlah sesuatu yang
statis, tetapi dinamis.Prioritas nilai seseorang berubah seiring dengan perjalanan waktu sesuai
dengan dengan kondisi personal individu yang bersangkutan. Nilai itu erat dengan kebaikan,
kendati keduanya tidak sama, mengingat bahwa sesuatu yang baik belum tentu bernilai bagi
seseorang atau sebaliknya.Misalnya, cincin emas 24 karat itu baik, tetapi tidak bernilai bagi
seorang yang mau tenggelam bersama kapalnya. Kebaikan itu lebih melekat pada “hal”-nya,
sedangkan nilai lebih menunjuk pada sikap orang terhadap sesuatu hal yang baik.
Menurut Max Scheller ( Purwahadiwardoyo, 1985) nilai itu bersifat abstrak, tidak kelihatan.
Nilai itu tersembunyi di balik tindakan-tindakan, kenyataan-kenyataan atau perbuatan-perbuatan
tertentu. Dengan kata lain perbuatan atau tindakan seseorang itu membawa nilai tertentu. Atau
nilai yang dapat kita kenal dengan melihat tindakan atau perbuatan tertentu. Yang nampak adalah
perbuatan atau tingkah laku seseorang, yang membawakan nilai tertentu. Misalnya nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila seperti “ke-Tuhanan”, “kemanusiaan”, “kerukunan / kesatuan”,
“demokrasi”, “keadilan”, tidak dapat kita temukan pada dirinya sendiri, tetapi hanya dapat kita
temukan dalam perbuatan, tingkah laku tertentu. Nilai-nilai itu harus dicari pada kenyataan-
kenyataan atau perbuatan-perbuatan seseorang. Itu sebabnya mengajarkan nilai tidak dapat tanpa
memberi contoh konkret tingkah laku atau perbuatan nyata atau fakta.
Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tidaklah sama kedudukan/posisinya, Max Scheller
(Purwa Hadiwardoyo,1985:9) membagi nilai menjadi empat tingkatan (mulai yang rendah ke
yang lebih tinggi):
1. Kelompok nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat sederetan nilai yang
mengenakan, menyenangkan, memuaskan atau sebaliknya, yang membuat orang merasa
enak, senang, puas atau sebaliknya. Kelompok nilai-nilai ini amat terkait dengan
kehidupan fisik atau jasmani manusia. 18
2. Kelompok nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat sederetan nlai yang terkait
hal-hal terpenting dalam kehidupan, seperti kesehatan, kesejahteraan, ketenteraman,
kedamaian, dll.
3. Kelompok nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini, terdapat sederetan nilai kejiwaan yang
sama sekali tidak lagi tergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungannya.
Misalnya: keadilan, kebenaran, kejujuran, kesetiaan, dll.
4. Kelompok nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini, terdapat sederetan modalitas nilai
dari yang suci dan tidak suci. Nilai-nilai semacam ini terdiri dari nilai-nilai pribadi
terutama Allah sebagai Pribadi Tertinggi. Misalnya: kesucian, keimanan, keyakinan, atau
sebaliknya.
Sementara itu dalam pandangan umum pemerintah atau masyarakat Indonesia, nilai
dikelompokan menjadi : a. kelompok nilai-nilai dasar yang menjadi dasar bagi nilai-nilai lain dan
bersifat universal seperti nilai-nilai : ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dll. ; b. kelompok nilai-
nilai instrumental , yang menjadi instrumen atau sarana pelaksanaan nilai lain, seperti :
demokrasi, gotong royong, toleransi, dll; dan c. kelompok nilai-nilai fraksis , yaitu nilai-nilai
yang menjadi landasan langsung bertingkah laku sehari-hari, seperti nilai kesopanan, kerapian,
kedisiplinan, ketertipan, dll.(AMW Pranarka,1885:386).
Dalam PKn nilai-nilai dan norma terutama bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Maka
dalam PKn pembahasan dan pembelajaran Pancasila dan UUD 1945 haruslah difokuskan pada
pemahaman dan internalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan yang secara
normatif terjabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945 dan bukan sekedar pemahaman kognitif dan
hafalan dangkal. Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai dasar yang universal diinternalisaikan
dalam diri peserta didik agar nilai-nilai tersebut diyakini benar dan baik serta akhirnya dihayati
dan diamalkan dalam hidup sehari-hari secara konkret. Begitu pula UUD 1945 harus ditinjau
tidak saja secara normatif (yuridis) tetapi juga secara etis-moral untuk mengungkap nilai-nilai
apa saja yang terkandung di dalamnya dan selanjutnya mendorong peserta didik untuk
menginternalisasikandan menghayatinya sebagai warga bangsa secara konsekuen.
5.8. Nilai bagi pembentukan kepribadian.
Nilai yang diyakinai seseorang memang merupakan hasil internalisasi yang dipengaruhi
oleh agama yang dianut, ilmu pengetahuan atau pendidikan yang diperoleh, adat istiadat atau
kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Nilai-nilai yang diyakini seseorang tidaklah
permanen, tetapi terus terbentuk dan berkembang sesuai dengan perkembangan kognitif dan
psikologisnya. Nilai-nilai yang diserap seseorang akan membentuk dan mewarnai kepribadian
seseorang. Dan nilai yang diyakini baik dan benar selalu menjadi acuan dalam bertindak dan
bertingkah laku. Nilai selalu akan mendorong orang untuk mewujudkannya dalam tindakan-
tindakannya, dan dengan cara itu seseorang membentuk kepribadiannya. Itu berarti pendidikan
PKn haruslah menjadi sarana pendidikan nilai dan mengarahkannya pada pembentukan
kepribadian peserta didik. Kepribadian seseorang bukanlah substansi yang tetap tetapi sesuatu
yang dinamis, terbentuk dan berkembang melalui tindakan-tindakannya sesuai dengan nilai-nilai
yang terus disempurnakannya.
F. Daftar Pustaka
Elias, L.(1989). Moral education: secular and religious. Florida: Roberta E.Krieger Publishing
Co,Inc. 19
Fraenkel, J.R.(1977). How to teach about values: an analytic approach.New Yersey Publishing
Co,Inc.
Fosnot (1996).EnquiringTteacherrs.EnquiringLearners.A constructivist Approach
forTteaching.New York: Columbia University
Hadiwardoyo, A. P. (1985). Nilai-nilai kemanusiaan dan hikmat bagi pendidikan. Yogyakarta, IKIP
Sanata Dharma.
Hall, B. (1973). Value clarification as learning process, New York: Paulist Press.
Hall, B., et al. (1982). Readings in value development. New Yersey: Paulist Press,
Helly, W.M. (1989). Wawasan ilmu pengetahuan sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependikan.
Hilgard, E. & G. Bower. (1975). Theories of learning. Century psychology series. Englewood Cliffs,
New York: Prentice Hall, Inc.
Hill, B.V. (1991). Values education in Australian schools. Victoria: The Australian Council for
Education Reasearch Ltd Radford House.
Hopkins, D. (1993). A Teacher's Guide to Classroom Research. Philadelphia Open University
Press.
Howe, L.W. and Howe M.M. (1975). Personalizing education. Values clarification and Beyond.
New York City :Hart Publishing Company,Inc.
Lickona, Th. (1991). Moral development and behaviour. New York: Holt, Renehart and
Winston.
Killen, Roy. (1998). Effective teaching strategies: lesson from research and practice, second
edition.Australia, Social Science Press.
Kohlberg, L.(1977).”The cognitive developmental approach to moral education” dalam Rogers,
D.Issues in adolescent psychology,New Yersey, Printice Hall,Inc.
Sastrapratedja (2001). Pancasila sebagai visi dan referensi kritik sosial. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma
Wina Wijaya. (2008). Strategi pembelajaran. Berorientasi standard proses pendidikan. Jakarta :
Kencana Preda Media Group.
Responses
0 Respones to "Karakteristik Peserta Didik, Strategi & Metode"
Posting Komentar