Computer Articles And Tutorial

Langkah Pelaksanaan Pembelajaran





Langkah-Langkah Pelaksanaan Keterampilan Proses
1. Pemanasan
            Tujuan kegiatan ini untuk mengarahkan siswa pada pokok permasalahan agar siswa siap. Baik secara mental, emosional maupun fisik.
Kegiatan ini antara lain dapat berupa :
  1. pengulasan langsung pengalaman yang pernah dialami siswa ataupun guru
  2. pengulasan bahan pengajaran yang pernah dipelajari pada waktu sebelumnya
  3. kegiatan-kegiatan yang mengugah dan mengarahkan perhatian siswa antara lain meminta pendapat/saran siswa, menunjukkan gambar, slide, film, atau benda lain.
2. Proses Belajar Mengajar
            Proses belajar hendaknya selalu mengikutkan siswa secara aktif guna mengembangkan kemampuan-kemampuan siswa, antara lain kemempuan siswa.
  1. Pengamatan
Tujuan kegiatan ini untuk melakukan pengamatan yang terarah entang gejala/fenomena sehingga mampu membedakan yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan pokok permasalahan. Yang dimaksud pengamatan disini adalah penggunaan indra secara optimal dalam rangka memperoleh informasi yang memadai.
  1. interpretasi hasil pengamatan
tujuan kegiatan ini adalah untuk menyimpulkan hasil pengamatan yang telah dilakukan berdasarkan pada pola hubungan antara hasil pengamatan yang satu dengan yang lainnya.
  1. Peramalan
Hasil interpretasi dari suatu pengamatan kemudian digunakan untuk meramalkan atau memperkirakan kejadian yang belum diamati/akan datang.
  1. aplikasi konsep
yang dimaskud dalam hal ini adalah menggunakan konsep yang telah diketahui/dipelajari dalam situasi  baru atau dalam menyelesaika masalah.
  1. perencanaan penelitian
penelitian bertitik tolak dari seperangkat pertanyaan antara lain untuk menguji kebenaran hipotesis tertentu perlu perencanaan penelitian lanjutan dalm bentuk percobaan selanjutnya.
  1. pelaksanaan penelitian
tujuan dari kegiatan ini adalah agar siswa lebih memahami pengauh variabel yang satu pada variabel yang lain. Cara belajar yang mengasyikkan akan terjadi dan kreativitas akan terlatihkan.
  1. Komunikasi
Kegiatan ini bertujuan untuk mengomunikasikan proses dan hasil penelitian kepada pihak yang berkaitan baik dalam kata-kata maupun bagan, grafik ataupun tertulis.
Langkah-Langkah Pelaksanaan kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997)
1.      Guru Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
2.      Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar
3.      Menyajikan informasi
4.      Guru menyajikan kepada siswa dengan jalan demontsrasi atau lewat bahan bacaan
5.      Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar
6.      Guru menjelaskan kepada siswa begaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efesien
7.      Membimbing kelompok bekerja dan belajar
8.      Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
9.      Evaluasi
10.  Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempersentasikan hasil kerjanya.
11.  Memberikan penghargaan
12.  Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif model jigsaw
1.      Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok  asal.
2.      Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
3.      Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu  bagian materi pembelajaran tersebut.
4.       Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG).
5.      Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika
6.       kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
7.      Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
8.      Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
9.      Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
10.  Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
11.  Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
   Langkah-langkah penerapan teknik Think-Pair-Share
       Selain memahami tentang teknik Think-Pair-Share, guru hendaknya juga memahami langkah-langkah dari penerapn teknik tersebut. menurut Anita Lie, ada 4 langkah yang bisa diterapkan dalam pelaksanaan Cooperative Learning dengan teknik Think-Pair-Share. Langkah-langkahnya pada kegitan menulis bahasa Inggris adalah sebagai berikut.
1.      Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok
2.      Setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri
3.      Siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya.
4.      Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat. Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok berempat
       Dalam kegiatan ini siswa berpikir (think ) untuk menulis tentang apa yang mereka pikirkan dan kemudian berbagi (share ) kepada temannya secara berpasangan (pair ) tentang apa yang telah mereka tulis. Pada kegiatan berpasangan ini bisa dilakukan dengan pasangan yang lainnya dalam satu kelompok.

Langkah-Langkah Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam kelas, pendidik melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawa ini:
1) Inti Di lapangan
Ø  Peserta didik melakukan observasi sesuai dengan pembagian tugas kelompok. 
Ø  Peserta didik mencatat hal-hal yang mereka temukan sesuai dengan alat observasi yang telah mereka tentukan sebelumnya.
2) Di dalam Kelas
Ø  Peserta didik mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing. 
Ø  Peserta didik melaporkan hasil diskusi. 
Ø  Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok yang lain.
3) Penutup
Ø  Dengan bantuan pendidik, peserta didik menyimpulkan hasil observasi sekitar sesuai dengan indikator hasil belajar yang dicapai. 
Ø  Pendidik menugaskan peserta didik untuk membuat karangan tentang pengalaman belajar mereka.
langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran  problem base learning  Nurhadi (2004)
1.       Tahap 1 orientasi peserta didik kepada masalah, pada tahap ini pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik (sumber belajar, media atau alat bantu pembelajaran) yang dibutuhkan, memotivasi peserta didik agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
2.       Tahap 2 mengorganisasi peserta didik untuk belajar, pada tahap ini pengajar membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang telah dipilih untuk dicarikan pemecahannya.
3.       Tahap 3 membimbing penyelidikan individual dan kelompok, dalam hal ini tenaga pengajar mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang sesuai, kemudian melaksanakan eksperimen (jika diperlukan) untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.
4.       Tahap 4 mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dalam hal pengajar membantu peserta didik merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model. Di samping itu pengajar juga membantu peserta didik berbagi tugas dengan rekannya.
5.       Tahap 5 menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, dalam hal ini pengajar membantu peserta didik melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang peserta didik gunakan.
6.        
Langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut:
  1. identifikasi kebutuhan siswa;
  2. seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi pengetahuan;
  3. seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
  4. membantu dan memperjelas tugas/ problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-masing siswa;
  5. mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;
  6. mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;
  7. memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;
  8. membantu siswa dengan informasi/ data jika diperlukan oleh siswa;
  9. memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi masalah;
  10. merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;
  11. membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

[Read More...]


Tips Dalam Pembelajaran



 
(1). Berpikir kritis dan usaha yang jujur lebih penting daripada jawaban yang benar
Cobalah untuk tidak mengerutkan kening ketika siswa memberikan jawaban yang salah atau keliru. Mengerutkan kening seringkali ditafsirkan sebagai bahasa isyarat  penolakan yang dapat menghambat siswa untuk berpartisipasi dalam mengekspresikan pemikirannya. 
(2).Tidak ada pengajaran tanpa pengendalian. 
Lebih baik Anda bersusah payah pada hari-hari awal masuk sekolah untuk menemukan cara-cara terbaik dalam mengelola kelas dan mendisiplinkan siswa,  daripada Anda harus melakukan perjuangan berat sepanjang semester karena Anda tidak berhasil menemukan cara yang paling efektif dalam pengelolaan kelas. 
(3).Kadang-kadang hal terbaik untuk dilakukan adalah berhenti berbicara.
Jika terjadi kebisingan di kelas, Anda tidak perlu berteriak-teriak meminta para siswa agar  berhenti gaduh. Cobalah Anda berdiri di depan kelas dengan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kemudian tataplah mereka (khususnya siswa yang menjadi sumber keributan) dengan tetap tanpa menunjukkan  ekspresi  marah. 
(4).Cobalah lakukan kegiatan yang bervariasi dari waktu ke waktu. 
Dalam proses pembelajaran rutinitas dan terstruktur memang hal yang baik, tapi apabila hal ini terlalu banyak dilakukan dapat menyebabkan Anda dan kelas Anda jatuh terjerembab ke dalam suatu kebiasaan yang membosankan  
(5.)Mendorong siswa untuk bepartisipasi aktif. 
Berikan kesempatan kepada setiap siswa untuk tampil di depan kelas atau mempersilahkan mereka untuk bekerja dalam kelompok. Sedapat mungkin hindari pembelajaran yang  berpusat pada guru untuk sepanjang tahun.  
(6).Cobalah untuk bersikap fleksibel.
Misalnya, pada saat berlangsung proses pembelajaran di kelas, Anda punya aturan ketat terhadap siswa tentang permen karet. Tetapi mungkin Anda  dapat memejamkan mata untuk hal ini  ketika siswa sedang menghadapi ujian.  
(7).Cobalah uraikan secara jelas topik-topik apa yang akan diujikan.  
Anda tidak hanya cukup dengan mengatakan dan menyuruh siswa “Minggu depan ulangan, silahkan Pelajari Bab 6!”. Perintah dan penugasan semacam ini akan dirasakan membingungkan, terutama bagi para siswa yang kurang memiliki keterampilan belajar.  
(8).Meminta dukungan manajemen. 
Adalah penting untuk mendapatkan dukungan dari manajemen ketika Anda berhadapan dengan isu-isu sulit, terkait dengan proses pembelajaran yang  Anda lakukan. Misalnya, meminta dukungan untuk mengadakan konferensi dengan para orang tua siswa yang  mengalami kesulitan dalam belajar.  
(9).Berikan siswa kesempatan untuk mengikuti ujian
Jika seorang siswa selalu hadir dalam setiap pertemuan di kelas, namun karena satu dan lain hal dia tidak bisa hadir pada hari ujian, Anda seyogyanya dapat  memberikan kesempatan kepadanya untuk mengikuti ujian susulan dan  jangan membiarkannya lebih dari satu atau dua hari.  
(10).Gunakan teknik “Front Loading”.  
Para siswa cenderung lebih  termotivasi untuk belajar pada awal masuk sekolah. Pada awal masuk sekolah, selain diajak meninjau kembali materi pada semester sebelumnya,  secara garis besarnya siswa juga diajak untuk mengenal topik-topik  yang  hendak dipelajarinya selama satu semester ke depan  
(11).Ajarkan para siswa untuk memiliki keterampilan memecahkan masalah. 
Ketika siswa Anda memasuki dunia kerja atau terjun ke masyarakat, sudah pasti dia  akan banyak berhadapan dengan berbagai masalah yang harus dia selesaikan dengan baik. Melalui pembelajaran yang Anda lakukan diharapkan para siswa akan terbiasa  dan terampil  dalam memecahkan aneka masalah yang dihadapinya..  
(12).Berikan penghargaan atas setiap hasil dan usaha belajar mereka
Penghargaan yang Anda berikan akan memberikan motivasi kepada para siswa untuk mengerjakan sesuatu lebih baik lagi.
(13).Lakukanlah yang terbaik dari diri Anda dan  bersikap adillah  kepada seluruh siswa
maka Anda akan mendapatkan rasa hormat dari mereka. Krisis kepercayaan kepada guru  seringkali bersumber dari ketidaksanggupan untuk menampilkan yang terbaik kepada siswanya. 
(14).Motivator terbaik adalah menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata
Jangan lepaskan pembelajaran dari dunia nyata siswa, belajarkanlah mereka hal-hal yang berhubungan dan menyentuh langsung kehidupan mereka  Misalkan guru Matematika ketika sedang membelajarkan tentang sistem metrik, mintalah kepada siswa membawa kertas karton kosong dan botol-botol dari dapur mereka,  untuk dijadikan sebagai media pembelajaran.  
(15).Adakalanya siswa dikelompokkan berdasarkan kemampuan (kelas unggulan). 
Hal ini membuat mereka lebih menonjol dibandingkan peserta lainnya. Di satu sisi, cara ini dapat memberikan  kemudahan bagi guru untuk memberikan pelayanan pembelajaran secara homogen, namun di sisi lain juga dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
    Sumber:
    Terjemahan dan adaptasi dari :
    [Read More...]


    Kelebihan dan Kelemahan Akselerasi



    Kelebihan Akselerasi
    Southern dan Jones (1991 dalam Hawadi, 2004) menyebutkan beberapa keuntungan dari dijalankannya program akselerasi bagi anak berbakat:
    a. Meningkatkan efisiensi
    Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih efisien.
    b. Meningkatkan efektivitas
    Siswa yang terikat belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang paling efektif.
    c. Penghargaan
    Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya.
    d. Meningkatkan waktu untuk karier
    Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya.
    e. Membuka siswa pada kelompok barunya
    Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang meiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama.
    f. Ekonomi
    Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarakan banyak biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat.
    Program akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan pendidikan yang tepat bagi siswa yang cerdas. Proses yang terjadi akan memungkinkan siswa untuk memelihara semangat dan gairah belajarnya. Program akselerasi membawa siswa pada tantangan yang berkesinambungan yang akan menyiapkan mereka menghadapi kekakuan pendidikan selanjutnya dan produktivitas selaku orang dewasa. Melalui program akselerasi ini, siswa diharapkan akan memasuki dunia profesional pada usia yang lebih muda dan memperoleh kesempata-kesempatan untuk bekerja produktif (Hawadi, 2004).

    Kelemahan Akselerasi
    Southern dan Jones (1991) menyebutkan empat hal yang berpotensi negatif dalam proses akselerasi bagi anak berbakat, yaitu:
    a. Segi Akademis
    1) Bahan ajar yang diberikan terlalu tinggi bagi siswa akseleran. Hal ini akan membuat mereka menjadi siswa yang tertinggal di belakang kelompok teman barunya, dan akan menjadi siswa yang berprestasi sedang-sedang saja, bahkan siswa akseleran yang gagal.
    2) Bisa jadi kemampuan siswa akseleran yang terlihat melebihi teman sebayanya hanya bersifat sementara. Dengan bertambah usianya, kecepatan prestasi siswa menjadi biasa-biasa saja dan sama dengan teman sebayanya. Hal ini menyebabkan kebutuhan akselerasi menjadi tidak perlu lagi dan siswa akseleran lebih baik dilayani dalam kelompok kelas reguler.
    3) Meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, siswa akseleran kemungkinan imatur secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu.
    4) Proses akselerasi menyebabkan siswa akseleran terikat pada keputusan karier lebih dini. Agar siswa dapat berprestasi baik, dibutuhkan pelatihan yang mahal dan tidak efisien untuk dirinya sebagai pemula. Bisa jadi kemungkinan buruk yang terjadi adalah karier tersebut tidak sesuai bagi dirinya.
    5) Siswa akseleran mungkin mengembangkan kedewasaan yang luara biasa tanpa adanya pengalaman yang dimiliki sebelumnya.
    6) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami oleh siswa akseleran karena tidak merupakan bagian dari kurikulum.
    7) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik konvergen sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan divergen.
    b. Segi Penyesuaian Sosial
    1) Siswa akan didorong untuk berprestasi dalam bidang akademiknya sehingga mereka kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya.
    2) Siswa akan kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya. Hal ini menyebabkan mereka menyesal kehilangan kesempatan tersebut dan akan mengarahkannya dalam social maladjustment selaku orang dewasa kelak. Mereka akan mengalami hambatan dalam bergaul dengan teman sebayanya.
    3) Siswa sekelasnya yang lebih tua kemungkinan akan menolaknya, sementara itu siswa akseleran akan kehilangan waktu bermain dengan teman sebayanya. Akibatnya, siswa akan mengalami kekurangan jumalah dan frekuensi pertemuan dengan teman-temannya.
    4) Siswa sekelasnya yang lebih tua tidak mungkin setuju memberikan perhatian dan respek pada teman sekelasnya yang lebih muda usia. Hal ini menyebabkan akseleran akan kehilangan kesempatan dalam keterampilan kepemimpinan yang dibutuhkannya dalam pengembangan karier dan sosialnya di masa depan.
    c. Aktivitas Ekstrakurikuler
    Kebanyakan aktivitas ekstrakurikuler berkaitan erat dengan usia. Hal ini menyebabkan siswa akseleran akan berhadapan dengan teman sekelasnya yang tua dan tidak memberikannya kesempatan. Hal ini menyebabkan siswa akan kehilangan kesempayan yang penting dan berharga di luar kurikulum sekolah yang normal. Akibatnya, mereka akan kehilangan pengalaman yang penting yang berkaitan bagi kariernya di masa depan.
    d. Penyesuaian Emosional
    1) Siswa akseleran pada akhirnya akan mengalami burn out di bawah tekanan yang ada dan kemungkinan menjadi underachiever.
    2) Siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi. Siswa yang mengalami sedikit kesempatan untuk membentuk persahabatan pada masanya akan menjadi terasing atau agresif terhadap orang lain.
    3) Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa akseleran kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi.
    Sisk (1986) dikutip dari Delisle (1992) menyebutkan beberapa ciri yang diatribusikan pada siswa akseleran, yaitu bosan, fobia sekolah, dan kekurangan hubungan teman sebaya (dalam Hawadi, 2004).

    Yang perlu untuk dicatat adalah penyelenggaraan program percepatan belajar di SD, SMP, dan SMA, harus memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tanpa membedakan tingkat strata sosial ekonomi seseorang, dan harus dihindarkan terjadinya kesenjangan antara siswa/akseleran dengan siswa regular. (Episentrum)
    [Read More...]


    Luhur & Hancurnya Pendidikan Nasional



    Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan dari Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. Selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanaka ketertiban dunia, alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 mengamanatkan bahwa beban mencerdaskan kehidupan bangsa ada pada pemerintah. Dan oleh karena itulah Pemerintah Negara Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.

    Dengan kemerdekaan, proses mencerdaskan kehidupan bangsa lebih mungkin untuk dilakukan. Sebab tanpa kemerdekaan tidak akan mungkin terselenggara pendidikan berkualitas dan berkeadilan yang dapat mencerdaskan segenap bangsa Indonesia. Tanpa kemerdekaan pendidikan hanya akan dinikmati oleh anak-anak kaum penjajah dan para priyayi. Kemerdekaan membuka akses terhadap pendidikan kepada siapapun.

    Kemerdekaan dan pendidikan adalah dua elemen yang saling mendukung, satu membutuhkan yang lainnya. Kemerdekaan mampu menciptakan pendidikan yang lebih baik. Namun, tanpa pendidikan tidak akan lahir gagasan tentang kemerdekaan. Gagasan tentang bangsa merdeka yang diusung oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional pun tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan yang telah mereka terima.

    Salah satu tokoh pergerakan nasional tersebut adalah Soewardi Surjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Pendidikan tidak hanya melahirkan gagasan kemerdekaan dalam khasanah berpikir Ki Hajar, namun juga menjadi alat perjuangannya untuk mewujudkan kemerdekaan. Soewardi menjadikan kemerdekaan sebagai azas pendidikan. Bagi Ki Hajar, mengisi jiwa merdeka pada anak-anak Indonesia yang sedang dijajah berarti mempersenjatai bangsa dengan keberanian untuk berjuang.

    Setelah menggunakan pers, partai politik dan organisasi massa, pendidikan adalah alat perjuangan terakhir yang digunakan Ki Hajar untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Dengan memberikan pendidikan yang memadai kepada rakyat akan menciptakan wawasan yang luas bagi mereka, yang pada akhirnya akan melahirkan kehendak untuk memerdekakan jiwa dan raganya. Taman Siswa lahir dengan latar belakang ini.

    Sama seperti alat perjuangan yang pernah ia gunakan, pendidikan sebagai alat perjuanganpun harus menghadapi berbagai macam hambatan yang dipasang oleh pemerintah kolonial. Melalui wilde scholen ordonantie (ordonansi 'sekolah liar') pemerintah kolonial berupaya membendung perjuangan kemerdekaan melalui jalur pendidikan.

    Ordonansi ini mengatur tentang izin penyelenggaraan pendidikan. Sekolah yang dianggap mengganggu 'ketertiban umum' tidak akan diberikan izin, dan dianggap sebagai 'sekolah liar'. Namun ordonansi ini tidak dapat diberlakukan secara efektif karena mendapatkan perlawanan yang luar biasa dari para tokoh dan organisasi pergerakan nasional.

    Ya, elok dan luhur nian konsep pendidikan menurut Ki Hajar. Konsep yang tetap relevan hingga saat ini. Jika pada era sekarang -- yang katanya begitu canggih -- saja konsep ini begitu cemerlang, apalagi pada saat konsep ini dilahirkan. Bisa jadi pada masa kelahirannya konsep ini tidak terlalu cemerlang, karena keluhuran hati dan pikiran, mudah kita dapatkan pada masa itu. Sementara di era milenium yang menampilkan berbagai macam kecanggihan ini, keluhuran sulit didapatkan, termasuk dalam dunia pendidikan.


    Ironi Pendidikan Nasional
    Taman Siswa berdiri tahun sejak 3 Juli 1922, 89 tahun lalu. Lebih jauh lagi, "Medan Prijaji", koran pertama yang dikelola oleh kaum pribumi terbit pada tahun 1903. Namun kenyataan yang ada seolah menampilkan sebuah ironi. Hingga September 2010, 5,3 persen atau 8,7 juta orang penduduk negeri ini menyandang status buta aksara. Selain keterisolasian, kemiskinan memberikan kontribusi besar terhadap angka kebutaaksaraan.

    Seorang teman yang menjadi guru di salahsatu sekolah menengah swasta di Kabupaten Sorong, mengatakan bahwa kemampuan membaca sejumlah siswanya masih menjadi persoalan. Mereka masih kesulitan dalam membaca. Selain itu, guru juga harus 'berjuang' memilih kata atau kalimat yang sangat sederhana agar dapat dimengerti oleh murid-muridnya. Maklum, sekalipun para murid adalah putera-puteri bangsa Indonesia, namun pengetahuan mereka tentang kosa kata bahasa Indonesiapun masih sangat terbatas.

    Padahal, program wajib belajar sudah dicanangkan sejak tahun 1950, lima tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. UU Nomor 4 tahun 1950 jo UU Nomor 12 tahun 1954 menjadi payung hukum penyelenggaraan pendidikan. Setiap anak yang berusia 8 sampai 14 tahun diwajibkan mengikuti program ini. Program wajib belajar pada era ini tidak berjalan efektif, bukan hanya karena kemiskinan, namun juga karena berbagai pergolakan politik dan pemberontakan yang mendera perjalanan negara belia ini.

    Pergantian kepemimpinan nasional ternyata tidak membawa arti bagi wajah pendidikan nasional. Jangankan pendidikan sebagai sebuah nilai, yang namanya (bangunan) sekolahpun tidak diurus secara pantas. Kasus bangunan sekolah rusak dan roboh serta ditukarguling untuk kepentingan bisnis masih kerap terjadi. Jika di Jakarta saja persoalan seperti ini masih terjadi, kita sudah dapat membayangkan nasib pendidikan di daerah-daerah lain.

    Ujian Nasional
    Melalui Ujian Nasional Pemerintah berusaha meningkatkan kualitas dan membuat standar pendidikan nasional. Nilai UN menjadi penentu kelulusan para siswa. Alih-alih meningkatkan mutu dan standar pendidikan, pembentukan standar pendidikan melalui UN justru menuai kritik dan kecaman. Bahkan sejumlah orangtua murid, guru dan para pemerhati pendidikan menggugat Pemerintah secara perdata melalui mekanisme citizen law suit (CLS). Pada setiap tingkatan pemeriksaan pengadilan hingga Mahkamah Agung, permohonan para penggugat dikabulkan.

    Sejatinya, UN bukan hanya tidak memiliki legitimasi sosial dan moral, namun juga legal. Namun pada kenyataannya UN masih tetap diselenggarakan dan masih menjadi penentu kelulusan dan standar pendidikan nasional, walaupun belakangan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan menetapkan kelulusan tidak lagi hanya ditentuka oleh UN, namun penggabungan dari nilai sekolah sebesar 40 persen dan 60 persen nilai UN.

    Masuknya 40 persen nilai ujian sekolah sebagai komponen nilai kelulusan tidak serta-merta mengurangi 'kepanikan' para siswa, guru, kepala sekolah dan orangtua murid dalam menghadapi UN. Beragam jurus mereka gunakan untuk menghadapi UN. Mulai dari jurus yang paling elok dengan memberikan pelajaran tambahan hingga praktik curang memberikan bocoran jawaban dan mencontek (massal atau individual).

    Sepanjang penyelenggaraannya, selain kasus bunuh diri, UN ternyata menyumbang pada kenaikan angka kriminalitas, seperti kasus pembocoran soal ujian, joki dan penipuan. Kualitas pendidikan tidak mengalami peningkatan sebagaimana yang diinginkan, penyelenggaraan UN justru semakin menjauhkan pemangku kepentingan dari esensi pendidikan.

    Nilai-nilai luhur yang harusnya ditumbuhkan dan dijaga oleh lembaga sekolah justru dihancurkan. Mencontek yang pada awalnya adalah 'kejahatan' intelektual justru dianjurkan. Nilai-nilai solidaritas dan kesetiakawanan diartikan memberikan jawaban kepada teman-teman yang tidak bisa menjawab soal UN. Nilai-nilai kemandirian digadaikan dengan kelulusan. Kepala sekolah dan guru-guru beramai-ramai 'menggebuki' rekan sejawatnya yang membongkar kecurangan UN di sekolahnya.

    'Kecelakaan' dalam dunia pendidikan tidak hanya terjadi di institusi pendidikan, namun sudah merembes hingga komunitas masyarakat paling bawah. Siami harus terusir dari rumahnya sendiri. Warga sekampung yang juga orangtua murid mengusirnya karena ia membongkar praktik contek massal di sekolah anaknya. Para orangtua seakan lupa bahwa ketika mereka bersekolahpun mencontek adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Demi anaknya lulus UN, para orangtua seakan mendukung anak-anaknya terlibat aksi meruntuhkan nilai-nilai pendidikan di sekolah.

    Aksi contek yang memperoleh legitimasi dari kepala sekolah, guru dan orangtua murid tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Setuju atau tidak setuju dengan berbagai macam praktik curang dalam menghadapi UN, tindakan tersebut bisa kita lihat sebagai bentuk perlawanan atau pembangkangan dari pihak sekolah. Sebab Pemerintah (pusat) yang tidak pernah memberikan perhatian kepada sekolah mereka, justru banyak mengatur, mengevaluasi dan menentukan lulus tidaknya siswa yang telah mereka didik selama sekian tahun.

    Alangkah bijaksananya jika sebelum memberikan standarisasi mutu melalui UN, pemerintah mengurus standarisasi proses pendidikan. Misalnya standar perpustakaan, laboratorium dan lapangan olahraga yang harus dimiliki oleh sekolah. Termasuk standar kualitas dan kompetensi guru serta rasio guru dan murid.

    Jika Pemerintah tidak mau mengurus standar proses pendidikan, maka menjadi tidak adil jika Pemerintah melakukan standarisasi output melalui UN. Dan tidak adil pula jika para murid dari belantara Papua harus 'bertanding' dengan siswa yang bersekolah di kota besar dengan fasilitas yang lengkap dan canggih.


    RSBI
    Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas semestinya terjadi di seluruh sekolah dan jenjang pendidikan, tidak dijelmakan dalam rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Dalam praktik, RSBI semakin menjauhkan akses orang miskin terhadap pendidikan. Sebab, selain anak harus memiliki nilai UN yang memenuhi syarat, orangtua juga harus membayar berbagai macam pungutan yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah. (Kompas 6 Juli 2011)

    Jika RSBI dianggap sebagai model pendidikan yang paling baik, harusnya ia diselenggarakan di setiap sekolah. Bukan pada sekolah-sekolah tertentu yang justru melahirkan ekslusivitas sekolah. Konstitusi menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Pemerintah wajib membiayai. Pemerintahpun dituntut untuk mengusahakan sistem pendidikan nasional, bukan sekolah dengan standar internasional.

    Jika sistem penyelenggaraan pendidikan seperti ini masih tetap dipertahankan, maka keadilan di bidang pendidikan tidak akan pernah terwujud. Pendidikan tidak lagi menjadi bagian dari hak asasi manusia, tapi sebuah komoditi. Angka putus sekolah pun makin sulit dibendung. Dan angka kemiskinan pun akan terus melambung, karena pendidikan sebagai sarana transformasi tidak dapat dikecap oleh si miskin.

    * Penulis adalah Advokat dan Peneliti, bekerja pada Institute for Ecosoc Rights, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
    www.prakarsa-rakyat.org).
    [Read More...]


    Pendidikan Finlandia Terbaik di Dunia?



    Sistem pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia. Rekor prestasi belajar siswa yang terbaik di negara-negara OECD dan di dunia dalam membaca, matematika, dan sains dicapai para siswa Finlandia dalam tes PISA.  Amerika Serikat dan Eropa, seluruh dunia gempar.

    Untuk tiap bayi yang lahir kepada keluarganya diberi maternity package yang berisi 3 buku bacaan untuk ibu, ayah, dan bayi itu sendiri. Alasannya, PAUD adalah tahap belajar pertama dan paling kritis dalam belajar sepanjang hayat. Sebesar 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD (7 tahun).

    Kegemaran membaca aktif didorong. Finlandia menerbitkan lebih banyak buku anak-anak daripada negeri mana pun di dunia. Guru diberi kebebasan melaksanakan kurikulum pemerintah, bebas memilih metode dan buku teks. Stasiun TV menyiarkan program berbahasa asing dengan teks terjemahan dalam bahasa Finish sehingga anak-anak bahkan membaca waktu nonton TV.

    Pendidikan di sekolah berlangsung rileks dan masuk kelas siswa harus melepas sepatu, hanya berkaus kaki. Belajar aktif diterapkan guru yang semuanya tamatan S2 dan dipilih dari the best ten lulusan universitas. Orang merasa lebih terhormat jadi guru daripada jadi dokter atau insinyur. Frekuensi tes benar-benar dikurangi. Ujian nasional hanyalah Matriculation Examination  untuk masuk PT. Sekolah swasta mendapatkan dana sama besar dengan dana untuk sekolah negeri.

    Sebesar 25% kenaikan pendapatan nasional Finlandia disumbangkan oleh meningkatnya mutu pendidikan. Dari negeri agraris yang tak terkenal kini Finlandia maju di bidang teknologi. Produk HP Nokia misalnya merajai pasar HP dunia. Itulah keajaiban pendidikan Finlandia.

    Kemajuan sebuah bangsa lebih ditentukan oleh karakter penduduknya dan karakter penduduk dibina lewat pendidikan yang bermutu dan relevan.

    Bagaimana Indonesia?
    Ada yang berpendapat,  keunggulan mutu pendidikan Finlandia itu tidak mengherankan karena negeri ini amat kecil dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa,  penduduknya homogen,  dan negaranya sudah eksis sekian ratus tahun. Sebaliknya,  penduduk Indonesia lebih dari 220 juta jiwa, amat majemuk terdiri dari beragam suku, agama, budaya, dan latar belakang sosial.  Indonesia baru merdeka 66 tahun.

    Pendapat senada dikemukakan oleh tokoh-tokoh dan pemerhati pendidikan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jepang,  dan negara-negara lain dibandingkan dengan negaranya. Yang paling malu AS karena unit cost anggaran pendidikannya jauh melebihi Finlandia tapi siswanya mencapai ranking 17 dan 24 dalam tes PISA, sedangkan siswa Shanghai China ranking 1, Finlandia 2, dan Korea Selatan 3. Soal siswa di Shanghai China juara masih diragukan karena belum menggambarkan keadaan mutu seluruh pendidikan China. Kalau Finlandia sebagai negara kecil bisa juara mengapa negara kecil yang sudah established seperti Islandia, Norwegia, New Zealand tak bisa?

    Akhirnya semua mengakui bahwa sistem pendidikan Finlandia yang terbaik di dunia karena kebijakan-kebijakan pendidikan konsisten selama lebih dari 40 tahun walau partai yang memerintah berganti. Secara umum kebijakan-kebijakan pendidikan China dan Korea Selatan (dan Singapura) juga konsisten dan hasilnya terlihat sekarang.

    Kebijakan-kebijakan pendidikan Indonesia cenderung tentatif, suka coba-coba, dan sering berganti.
    Lalu bagaimana dengan kebijakan pendidikan Indonesia jika dibandingkan dengan Finlandia?

    1. Kita masih asyik memborbardir siswa dengan sekian banyak tes (ulangan harian, ulangan blok, ulangan mid-semester, ulangan umum / kenaikan kelas, dan ujian nasional). Finlandia menganut kebijakan mengurangi tes jadi sesedikit mungkin. Tak ada ujian nasional sampai siswa yang menyelesaikan pendidikan SMA mengikuti matriculation examination untuk masuk PT.
    2. Kita masih getol menerapkan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) sehingga siswa yang gagal tes harus mengikuti tes remidial dan masih ada tinggal kelas. Sebaliknya, Finlandia menganut kebijakan automatic promotion, naik kelas otomatis. Guru siap membantu siswa yang tertinggal sehingga semua naik kelas.
    3. Kita masih berpikir bahwa PR amat penting untuk membiasakan siswa disiplin belajar. Bahkan, di sekolah tertentu, tiada hari tanpa PR. Sebaliknya, di Finlandia PR masih bisa ditolerir tapi maksimum hanya menyita waktu setengah jam waktu anak belajar di rumah.

    4. Kita masih pusing meningkatkan kualifikasi guru SD agar setara dengan S1, di Finlandia semua guru harus tamatan S2.
    5. Kita masih menerima calon guru yang lulus dengan nilai pas-pasan, sedangkan di Finlandia the best ten lulusan universitas yang diterima menjadi guru.
    6. Kita masih sibuk memaksa guru membuat silabus dan RPP mengikuti model dari Pusat dan memaksa guru memakai buku pelajaran BSE (Buku Sekolah Elektronik), di Finlandia para guru bebas memilih bentuk atau model persiapan mengajar dan memilih metode serta buku pelajaran sesuai dengan pertimbangannya.
    7. Hanya segelintir guru di tanah air yang membuat proses belajar-mengajar itu menyenangkan (learning is fun) melalui penerapan belajar aktif. Terbanyak guru masih getol mengajar satu arah dengan metode ceramah amat dominan. Sedangkan, di Finlandia terbanyak guru menciptakan suasana belajar yang menyenangkan melalui implementasi belajar aktif dan para siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Motivasi intrinsik siswa adalah kata kunci keberhasilan dalam belajar.

    Apakah benda ini melayang, terapung atau tenggelam?
    8. Di tanah air kita terseret arus mengkotak-kotakkan siswa dalam kelas reguler dan kelas anak pintar, kelas anak lamban berbahasa Indonesia dan kelas bilingual (bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar) dan membuat pengkastaan sekolah (sekolah berstandar nasional, sekolah nasional plus, sekolah berstandar internasional, sekolah negeri yang dianakemaskan dan sekolah swasta yang dianaktirikan). Sebaliknya di Finlandia, tidak ada pengkotakan siswa dan pengkastaan sekolah. Sekolah swasta mendapatkan besaran dana yang sama dengan sekolah negeri.
    9. Di Indonesia bahasa Inggris wajib diajarkan sejak kelas I SMP, di Finlandia bahasa Inggris mulai diajarkan dari kelas III SD. Alasan kebijakan ini adalah memenangkan persaingan ekonomi di Eropa, membuka kesempatan kerja lebih luas bagi lulusan, mengembangkan wawasan menghargai keanekaragaman kultural.
    10. Di Indonesia siswa-siswa kita ke sekolah sebanyak 220 hari dalam setahun (termasuk negara yang menerapkan jumlah hari belajar efektif dalam setahun yang tertinggi di dunia). Sebaliknya, siswa-siswa Finlandia ke sekolah hanya sebanyak 190 hari dalam satu tahun. Jumlah hari liburnya 30 hari lebih banyak daripada di Indonesia. Kita masih menganut pandangan bahwa semakin sering ke sekolah anak makin pintar, mereka malah berpandangan semakin banyak hari libur anak makin pintar.
     
    FINLANDIA amat maju dalam dunia pendidikan justru karena didukung oleh hal-hal berikut ini:
    1. Setiap anak diwajibkan mempelajari bahasa Inggris serta wajib membaca satu buku setiap minggu.
    2. Sistem pendidikannya yang gratis sejak TK hingga tingkat universitas.
    3. Wajib belajar diterapkan kepada setiap anak sejak umur 7 tahun hingga 14 tahun.
    4. Selama masa pendidikan berlangsung, guru mendampingi proses belajar setiap siswa, khususnya mendampingi para siswa yang agak lamban atau lemah dalam hal belajar. Malah terhadap siswa yang lemah, sekolah menyiapkan guru bantu untuk mendampingi siswa tersebut serta kepada mereka diberikan les privat.
    5. Setiap guru wajib membuat evaluasi mengenai perkembangan belajar dari setiap siswa.
    6. Ada perhatian yang khusus terhadap siswa-siswa pada tahap sekolah dasar, karena bagi mereka, menyelesaikan atau mengatasi masalah belajar bagi anak umur sekitar 7 tahun adalah jauh lebih mudah daripada siswa yang telah berumur 14 tahun.
    7. Orang tua bebas memilih sekolah untuk anaknya, meskipun perbedaan mutu antar-sekolah amat sangat kecil.
    8. Semua fasilitas belajar-mengajar dibayar serta disiapkan oleh negara.
    9. Negara membayar biaya kurang lebih 200 ribu Euro per siswa untuk dapat menyelesaikan studinya hingga tingkat universitas
    10. Baik miskin maupun kaya semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar serta meraih cita-citanya karena semua ditanggung oleh negara
    11. Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan dana demi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
    12. Makan-minum di sekolah serta transportasi anak menuju ke sekolah semuanya ditangani oleh pemerintah.
    13. Biaya pendidkan datang dari pajak daerah, provinsi, serta dari tingkat nasional.
    14. Khusus mengenai para GURU: setiap guru menerima gaji rata-rata 3400 euro per bulan. Guru disiapkan bukan saja untuk menjadi seorang profesor atau pengajar, melainkan disiapkan juga khususnya untuk menjadi seorang ahli pendidikan. Makanya, untuk menjadi guru pada sekolah dasar atau TK saja, guru itu harus memiliki tingkat pendidikan universitas.
    Sumber: http://sbelen.wordpress.com
    [Read More...]


    Sumber Belajar & Pembelajaran Siswa




    Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu.
    Sumber belajar memiliki fungsi :
    1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: 
    (a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan (b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.
    2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan (b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.
    3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: (a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan (b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.
    4. Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: (a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; (b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.
    5. Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: (a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit; (b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.
    6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis. Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran siswa.


    Secara garis besarnya, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu:
    1. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
    2. Sumber belajar yang dimanfaatkan(learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran Dari kedua macam sumber belajar, sumber-sumber belajar dapat berbentuk:
    (1) pesan: informasi, bahan ajar; cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan sebagainya
    (2) orang: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya;
    (3) bahan: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya;
    (4) alat/ perlengkapan: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan sebagainya;
    (5) pendekatan/ metode/ teknik: disikusi, seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat, talk shaw dan sejenisnya; dan
    (6) lingkungan: ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan sebagainya.

    Dalam memilih sumber belajar harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:
    (1) ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal;
    (2) praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka;
    (3) mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita;
    (4) fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan;
    (5) sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.

    Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar. Lingkungan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar terdiri dari :
    (1) lingkungan sosial dan
    (2) lingkungan fisik (alam).
    Lingkungan sosial dapat digunakan untuk memperdalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan untuk mempelajari tentang gejala-gejala alam dan dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan cinta alam dan partispasi dalam memlihara dan melestarikan alam. Pemanfaatan lingkungan dapat ditempuh dengan cara melakukan kegiatan dengan membawa peserta didik ke lingkungan, seperti survey, karyawisata, berkemah, praktek lapangan dan sebagainya. Bahkan belakangan ini berkembang kegiatan pembelajaran dengan apa yang disebut out-bond, yang pada dasarnya merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan alam terbuka. Di samping itu pemanfaatan lingkungan dapat dilakukan dengan cara membawa lingkungan ke dalam kelas, seperti : menghadirkan nara sumber untuk menyampaikan materi di dalam kelas. Agar penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar berjalan efektif, maka perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta tindak lanjutnya.

    Secara skematik, prosedur merancang sumber belajar dapat mengikuti alur sebagai berikut: sumber belajar1

    Banyak orang beranggapan bahwa untuk menyediakan sumber belajar menuntut adanya biaya yang tinggi dan sulit untuk mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya akan membebani orang tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih besar lagi. Padahal dengan berbekal kreativitas, guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar yang sederhana dan murah. Misalkan, bagaimana guru dan siswa dapat memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas, yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar siswa. Tidak sedikit sekolah-sekolah di kita yang memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar yang sangat berharga. Belakangan ini di sekolah-sekolah tertentu mulai dikembangkan bentuk pembelajaran dengan menggunakan internet, sehingga siswa “dipaksa” untuk menyewa internet –yang memang ukuran Indonesia pada umumnya-, masih dianggap relatif mahal. Kenapa tidak disediakan dan dikelola saja oleh masing-masing sekolah? Mungkin dengan cara difasilitasi oleh sekolah hasilnya akan jauh lebih efektif dan efisien, dibandingkan harus melalui rental ke WarNet. Bukankah sekarang ini sudah tersedia paket-paket hemat untuk berinternet yang disediakan para provider?
    Sumber: Adaptasi dari : Depdiknas. 2004. Pedoman Merancang Sumber Belajar. Jakarta.

    "Semoga Bermanfaat" :)
    [Read More...]